BAB V
A.
Definisi Waris
Al-miirats,
dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.
Pengertian
menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya
Allah berfirman:
"Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"...
Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain
itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama
adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan
makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian
peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
Dari
sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan
adalah:
1.
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta
miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman
tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman,
dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu
hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2.
Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih
dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan
kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa
(ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud
hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun
jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat,
atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di
kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Kalangan
ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan
ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia.
Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan
keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah
meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi
orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari
kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu
saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya
bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya.
Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Sedangkan
jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang
pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang
kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang
tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak
yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris
untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan
menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang
berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada
Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada
sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara
bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
3.
Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga
dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut
diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari
salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris
dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan
pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila
ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan
kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw.
ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad
sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal.
Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta
kepada orang."
4.
Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para
ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama
(ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh
(ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri,
suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak
menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima
bagian).
Catatan:
Pada
ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang.
Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu
diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu,
didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli
waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang
menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja
berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan
penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
B. Bentuk-bentuk
Waris
Hak
waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
Hak
waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
Hak
waris secara tambahan.
Hak
waris secara pertalian rahim.
Pada
bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.
Ada
tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
Kerabat
hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman,
dan seterusnya.
Pernikahan,
yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama)
antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi
sebab untuk mendapatkan hak waris.
Al-Wala,
yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala
an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat
kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang
membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang
sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi
terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang
hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Rukun
waris ada tiga:
Pewaris,
yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta
peninggalannya.
Ahli
waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
Harta
warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
D.
Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada
tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
Kerabat
hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman,
dan seterusnya.
Pernikahan,
yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama)
antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi
sebab untuk mendapatkan hak waris.
Al-Wala,
yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala
an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat
kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang
membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang
sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi
terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang
hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
E. Syarat
Waris
Syarat-syarat
waris juga ada tiga:
Meninggalnya
seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap
telah meninggal).
Adanya
ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Seluruh
ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat
Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang
dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara
hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli
warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang
yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya
sebagai orang yang telah meninggal.
Hal
ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang
masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya.
Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah
ia meninggal.
Syarat
Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya,
pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara
syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak
untuk mewarisi.
Sebagai
contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi
meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat
saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini
oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam
suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat
Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam
hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya
suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti
jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah
yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang
adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai
saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai
hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada
yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan
(mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
F.
Penggugur Hak Waris
Penggugur
hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang
menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
Seseorang
yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak
yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang
telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang
disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur
hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.
Apabila
seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya),
maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:
"Tidaklah
seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari
pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang
menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak
mendapatkan bagiannya."
Ada
perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya,
mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris
adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan
mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat
bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap
jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau
membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan
menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap
menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya,
pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
Seorang
muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun
agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah
berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi
muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur
ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda
dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin
Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir,
tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa
Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian
ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni
murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad.
Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori
perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara
itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang
murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang
muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut
mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak
berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka,
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara
otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan
Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat
saling mewarisi.
Sedangkan
menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang
murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh
harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim."
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Menurut
penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding
yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus
diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui
baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun
internasional.
Ada
perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang
terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena
itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang
yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat
menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan
fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak
waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan
dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika
terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya
dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris,
yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh
bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah
dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk
lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Seorang
suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak
--dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai
berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris
dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang
ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam
hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang
mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan
sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta
yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara
kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli
waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
G. CARA PEMBAGIAN WARIS DALAM ISLAM
Cara
pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan
dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian
masing-masing ahli waris.
Cara
kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh.
Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan
jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka
pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari
masing-masing ahli waris.
Contoh
Cara Pertama
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta
peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok
masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan
1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya
(yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun
nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada
(480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga
per bagian.
Jadi,
|
bagian
istri
|
3
bagian
|
x
|
20
dinar
|
=
|
60
dinar
|
Anak
perempuan
|
12
bagian
|
x
|
20
dinar
|
=
|
240
dinar
|
|
Ibu
|
4
bagian
|
x
|
20
dinar
|
=
|
80
dinar
|
|
Ayah
('ashabah)
|
5
bagian
|
x
|
20
dinar
|
=
|
100
dinar
|
|
Total
|
=
|
480
dinar
|
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu,
suami, cucu perempuan keturunan anak lelaki. Sedangkan harta waris yang ada
sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12
kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang
berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu
memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua
saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti
berikut:
2
|
|||
12
|
24
|
||
Cucu
perempuan keturunan anak lelaki
|
1/2
|
6
|
12
|
Suami
1/4
|
1/4
|
3
|
6
|
Ibu
1/6
|
1/6
|
2
|
4
|
2
saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
|
1
|
2
|
Adapun
nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli
waris:
Jadi,
|
Cucu
pr. keturunan anak lelaki
|
12
|
x
|
40
dinar
|
=
|
480
dinar
|
Suami
|
6
|
x
|
40
dinar
|
=
|
240
dinar
|
|
Ibu
|
4
|
x
|
40
dinar
|
=
|
160
dinar
|
|
Dua
saudara kandung perempuan
|
2
|
x
|
40
dinar
|
=
|
80
dinar
|
|
Total
|
=
|
960
dinar
|
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak lelaki,
ayah, ibu, dan tiga saudara kandung lelaki, dan harta peninggalannya 3.000
dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian
ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu
mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak,
dengan ketentuan bagian lelaki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian
anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak
lelaki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung lelaki
mahjub. Simak tabel berikut:
2
|
|||
6
|
12
|
||
Empat
anak perempuan
|
4
|
4
|
|
Dua
anak lelaki
|
3
|
4
|
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
2
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2
|
Tiga
saudara kandung lelaki (mahjub)
|
-
|
-
|
Adapun
nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi,
|
Jadi
bagian 4 anak perempuan
|
4
|
x
|
250
dinar
|
=
|
1.000
dinar
|
dua
anak lelaki
|
4
|
x
|
250
dinar
|
=
|
1.000
dinar
|
|
ibu
|
2
|
x
|
250
dinar
|
=
|
500
dinar
|
|
ayah
|
2
|
x
|
250
dinar
|
=
|
500
dinar
|
|
Total
|
=
|
3.000
dinar
|
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua
saudara lelaki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900
dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian
di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara
kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara lelaki seibu memperoleh 1/3
berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel
berikut:
6
|
9
|
||
Suami
|
1/2
|
3
|
|
Saudara
kandung perempuan
|
1/2
|
3
|
|
2
Saudara lelaki seibu
|
1/3
|
2
|
|
Nenek
|
1/6
|
1
|
Adapun
nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi,
|
Suami
|
3
|
x
|
1.100
dinar
|
=
|
3.300
dinar
|
Saudara
perempuan kandung
|
3
|
x
|
1.100
dinar
|
=
|
3.300
dinar
|
|
Dua
saudara lelaki seibu
|
2
|
x
|
1.100
dinar
|
=
|
2.200
dinar
|
|
Nenek
|
1
|
x
|
1.100
dinar
|
=
|
2.200
dinar
|
|
Total
|
=
|
9.000
dinar
|
Bila
seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu lelaki dari keturunan anak
lelaki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya
seperti berikut:
Pokok
masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4
(berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak
perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan
kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak
memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul
furudh. Perhatikan tabel berikut:
12
|
13
|
|
Suami
|
1/4
|
3
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
Dua
anak perempuan
|
2/3
|
8
|
Tiga
cucu perempuan dari anak laki-laki
1 cucu laki-laki dari anak laki-laki |
'ashabah
|
-
|
Jadi,
|
Suami
|
3
|
x
|
585:13
dinar
|
=
|
135
dinar
|
Ibu
|
2
|
x
|
585:13
dinar
|
=
|
90
dinar
|
|
Dua
anak perempuan
|
8
|
x
|
585:13
dinar
|
=
|
360
dinar
|
|
Total
|
=
|
585
dinar
|
Contoh
lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan
keturunan anak lelaki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240
dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian
ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak lelaki mendapatkan 1/2
(berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan
1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12
|
24
|
||
Cucu
pr. ket. anak lelaki
|
1/2
|
6
|
12
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
4
|
Suami
|
1/4
|
3
|
6
|
Dua
saudara kandung ('ashabah)
|
1
|
2
|
Cucu
pr. ket. anak lelaki
|
12
|
x
|
240:24
dinar
|
=
|
120
dinar
|
Ibu
|
4
|
x
|
240:24
dinar
|
=
|
40
dinar
|
Suami
|
6
|
x
|
240:24
dinar
|
=
|
60
dinar
|
Dua
saudara kandung ('ashabah)
|
2
|
x
|
240:24
dinar
|
=
|
20
dinar
|
Total
|
=
|
240
dinar
|
Misal
lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan,
saudara perempuan seayah, saudara lelaki seayah, dan cucu perempuan keturunan
anak lelaki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu
bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian--
menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli
waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:
6
|
||
Ibu
|
1/6
|
1
|
Cucu
pr. ket. anak lelaki
|
1/2
|
3
|
Dua
saudara kandung pr. ('ashabah)
|
2
|
|
Saudara
perempuan seayah,
Dua saudara lelaki seayah (mahjub) |
-
|
Ada
dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah
ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki
pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum perempuan, dan setiap ahli
waris hanya menerima satu dinar.
Contoh
masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2)
orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara
perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang
istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6
(berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti
8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4
bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli
warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus
seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12
|
17
|
||
Ke-3
istri
|
1/4
|
3
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Kedua
nenek
|
1/6
|
2
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Ke-8
sdr. pr. seayah
|
2/3
|
8
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Ke-4
sdr. pr. seibu
|
1/3
|
4
|
masing-masing
1 bagian = 1 dinar
|
Adapun
masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada
sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah.
Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian
satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi
ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid
disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh
masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu,
dua anak perempuan, dua belas saudara kandung lelaki, dan seorang saudara
kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi
600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4
bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1)
bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung lelaki dan seorang saudara
kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi,
bagian
|
Istri
|
3
|
x
|
600:24
dinar
|
=
|
75
dinar
|
Ibu
|
4
|
x
|
600:24
dinar
|
=
|
100
dinar
|
|
Kedua
anak perempuan
|
16
|
x
|
600:24
dinar
|
=
|
400
dinar
|
|
Total
|
=
|
575
dinar
|
Sedangkan
ke-12 saudara kandung lelaki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat
sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak lelaki
dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan
kepada ke-12 saudara kandung lelaki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar,
dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:
25
|
|||
24
|
600
|
||
Istri
|
1/8
|
3
|
75
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
100
|
Kedua
anak perempuan
|
2/3
|
16
|
100
|
12
saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah) |
1
|
24
1 |
Masalah
ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang
mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak
saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, perempuan
tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang
menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga
memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun
perempuan tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima
warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib
bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak
perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab,
"Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak
kurang."
Kemudian
Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim
Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar